Rabu, 28 November 2007

Bentrok TNI-Polri, akibat Perceraian Dini

SEJAK polisi dan TNI berpisah melalui Ketetapan (Tap) MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, terkesan konflik terbuka dan bersenjata antara kedua anggota institusi itu semakin sering terjadi. Bahkan, kerap menimbulkan korban jiwa baik di kedua belah pihak maupun masyarakat sipil.

Kasus terakhir di Binjai, Langkat, Sumatra Utara pada 29 September 2002 yang melibatkan pasukan elite TNI Lintas Udara (Linud) 100 yang menyerang markas polisi dan menewaskan sejumlah perwira polisi, mungkin saja tidak merupakan peristiwa terakhir. Dikhawatirkan bentrokan di lapangan antara kedua anggota institusi penjaga keamanan tersebut masih akan terjadi. Tidak hanya di daerah konflik, tapi juga di daerah-daerah nyaman dan aman.

Berdasarkan data Media, pascapemisahan institusi Polri dari TNI, tercatat telah terjadi sedikitnya 17 kali perseteruan antara personel TNI dan Polri, yang mengakibatkan belasan korban tewas dan puluhan luka-luka.

Pimpinan TNI dan Polri telah melakukan tindakan tegas, mulai pencopotan komandan hingga pemecatan terhadap mereka yang terlibat langsung dalam aksi penyerangan tersebut. Tapi, apakah itu menjadi jaminan peristiwa bentrokan serupa tidak terjadi lagi di masa depan?

Apakah akar masalah sesungguhnya, sehingga konflik terbuka para pemegang senjata itu sering menarik pelatuk senjatanya?

Berbagai analisis telah dilakukan untuk membuka tabir akar bentrokan TNI dan Polri. Salah satunya, apakah pemisahan antara TNI dan Polri itu cukup realistis?

Anggota Komnas HAM yang mantan Pangdam Cenderawasih Mayjen Samsudin mengatakan pemisahan TNI dan Polri sejak 2000 sudah benar. Alasannya, kedua institusi tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda.

Samsudin menganggap polisi mempunyai tugas berat karena berfungsi memberi perlindungan kepada masyarakat dan sebagai alat penegakan hukum. Sementara itu, TNI mempunyai fungsi sebagai militer. ''Polisi harus lebih dikedepankan sekarang,'' ujar Samsudin. Di sisi lain TNI sebagai alat pertahanan harus meningkatkan dirinya agar lebih profesional.

Soal bentrokan antara TNI dan Polri? ''Itu sudah sejak lama terjadi.

Bukan hal baru. Dan bukan dipicu pemisahan TNI dan Polri,'' katanya.

Menurut dia, bentrokan terjadi karena ada rasa kebanggaan yang berlebihan pada diri setiap anggota TNI ataupun Polri. ''Tapi, biasanya hal tersebut terjadi paling dominan di lingkup paling bawah, seperti prajurit-prajurit biasa,'' lanjut Samsudin.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu justru melihat ada kausalitas antara peristiwa bentrokan dan pemisahan TNI dan Polri. Untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang, maka perlu ada perumusan yang benar tentang hubungan TNI dan Polri pascapemisahan.

''Untuk mengatasi masalah ini kita sedang merundingkannya. Kenapa kita tidak bisa seperti dulu? Bukannya kami tidak setuju TNI dan Polri itu dipisahkan, tetapi ada hal-hal yang harus diperhatikan dengan perpisahan itu. Dampaknya ya, salah satunya peristiwa semacam ini,'' ujar Ryamizard.

Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Ratyono membenarkan bahwa sejak pemisahan Polri dari TNI, terjadi peningkatan eskalasi bentrokan personel TNI/Polri. Padahal, sebetulnya jika dilihat dari sudut pandang idealisme, pemisahan TNI/Polri itu bukanlah hal yang salah.

''Karena itu dilakukan agar Polri lebih profesional dan tidak bergaya militer,'' paparnya.

Hanya saja, menurut Ratyono, seharusnya ada peninjauan yang cermat sebelum pemisahan dilakukan. Karena jika tidak, idealisme itu bakalan hanya dijadikan alasan bagi pihak-pihak tertentu yang memang berniat membenturkan aparat bersenjata.

Atas dasar pemikiran bahwa pemisahan TNI-Polri merupakan penyebab utama setiap insiden bersenjata TNI dan Polri, Ratyono mengatakan, sebaiknya ada pengaturan yang jelas untuk tugas dan fungsi TNI.

''Statemen dalam Tap MPR itu harus diperjelas, kalau mau menghentikan ribut-ribut ini. Karena dalam pernyataan itu hanya disebutkan pertahanan adalah tentara, sedangkan keamanan polisi. Ini tidak betul.

Apalagi, ada pemberian mandat yang sangat besar terhadap polisi di luar kemampuannya,'' kata Ratyono lagi.

Koreksi

Pandangan bahwa pemisahan Polri dari TNI menjadi penyebab utama terjadinya peningkatan kualitas dan kuantitas penyerangan antarpersonel dari dua institusi bersenjata yang beda, juga dipaparkan mantan Kapuspen TNI Mayjen (Purn) Suwarno Adiwijoyo.

Ditemui di kantornya, Menara Global, Jakarta, lelaki yang kini menjadi salah satu fungsionaris Partai Amanat Rakyat (PAN) itu, bahkan menegaskan bahwa seharusnya ada koreksi atas kebijakan pemisahan TNI dan Polri. Kendati demikian, Suwarno tidak menolak konsep untuk menjadikan polisi sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban masyarakat. Hanya saja, menurut Suwarno, situasi seperti itu baru dapat dilakukan manakala sejumlah persyaratan sudah terpenuhi. Yakni, seperti dapat diproposionalkannya jumlah polisi dibanding masyarakat.

Kemudian, Suwarno mengatakan, harus ada desentralisasi Polri sebagaimana di sejumlah negara lain, termasuk Amerika. ''Di negara seperti AS, memang polisi terlepas dari tentara. Tapi, jumlahnya 200 orang per satu polisi. Artinya dia memiliki kemampuan dan tidak menggunakan TNI untuk membantu tugas-tugas polisi,'' paparnya.

Berbeda dengan itu Wakil Ketua DPR/Koordinator bidang Polkam Soetardjo Soerjogoeritno melihat persoalan lebih serderhana. Menurut dia bentrok dan konflik antara TNI dan Polri muncul karena masalah yang sangat mendasar yakni kesejahteraan. Persoalan ekonomi, agaknya menjadi pemicu konflik antara TNI dan Polri di sejumlah tempat. Entah itu persoalan membekingi lokasi perjudian, bandar narkoda, penyelundup atau hal-hal lain yang dipandang dapat memberi manfaat ekonomi. Karena itu Soetardjo berharap pimpinan TNI dan Polri mencari jalan keluar dengan memenuhi tingkat kesejahteraan prajurit secara tepat, halal, dan tidak melawan hukum.

''Mungkin karena gaji mereka rendah, sehingga anggota TNI menyiapkan dirinya sebagai beking guna memenuhi kebutuhan hidupnya,'' ujarnya.

Konflik antara TNI dan Polri tidak bisa berakhir hanya dengan memecat atau mengecam. Harus ada jalan keluar yang realistis, konkret, dan komprehensif.

-----------------------------------------------------

BENTROK DAN KONTAK SENJATA TNI DAN POLRI 2001-2002

-----------------------------------------------------

Tgl ! Tempat ! Korban

-----------------------------------------------------

24/01/01 ! Ambon ! 1 TNI tewas

-----------------------------------------------------

03/02/01 ! Desa Latta ! 1 polisi tewas,

Sirimau, Kodya 17 luka-luka

Ambon

-----------------------------------------------------

27/02/01 ! Sampit, ! 3 polisi luka

KalTeng 4 TNI luka

3 sipil tewas

----------------------------------------------------

21/04/01 ! Payosigadung, ! 1 TNI tewas

Kotabaru,

Jambi

-----------------------------------------------------

12/05/01 ! Polres Aceh ! 1 polisi tewas

Barat 2 luka tembak

-----------------------------------------------------

28/08/01 ! Serui Yapen ! 2 TNI tewas

Waropen, Papua 5 polisi luka berat

-----------------------------------------------------

02/09/01 ! Palu, Sulteng ! 1 TNI tewas

-----------------------------------------------------

15/09/01 ! Madiun ! 2 sipil tewas

20 TNI & polisi luka

-----------------------------------------------------

10/06/02 !Simalungun Sumut ! 1 Polisi luka

-----------------------------------------------------

13/07/02 ! Langkat Sumut ! 2 Polisi luka

-----------------------------------------------------

19/08/02 ! Maumere Flores ! 7 Polisi luka

2 TNI luka

------------------------------------------------------

28/09/02 ! Langkat Sumut ! 2 TNI luka

2 Polisi luka

-----------------------------------------------------

29/09/02 ! Langkat Sumut ! 6 polisi

2 Sipil tewas

1 TNI

23 luka

Tidak ada komentar: