Rabu, 28 November 2007

Purnawirawan tidak Perlu Minta Restu TNI

PANGLIMA TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan, capres dan cawapres ataupun anggota legislatif dari purnawirawan tidak lagi mewakili institusi TNI. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki hak untuk meminta restu ataupun dukungan kepada institusi TNI.

Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI, kemarin, dalam konferensi pers di Markas Besar Cilangkap, Jakarta, yang mengangkat tema

Pengamanan pemilu dan posisi TNI dalam pemilu. Selain itu, menurut Panglima TNI, para purnawirawan itu juga tidak memiliki kewajiban untuk melapor atau meminta izin kepada institusi TNI terkait dengan keinginan mereka untuk menjadi presiden atau wakil presiden.

"Mereka tidak mewakili institusi TNI. Mereka tampil sebagai warga negara biasa, karena sudah berstatus purnawirawan. Karena itu, mereka juga memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Tapi mereka tidak memiliki kewajiban untuk meminta izin atau melapor pada institusi soal keinginan politiknya dan mereka juga tidak punya hak untuk meminta restu dan dukungan pada TNI, termasuk memengaruhi prajurit TNI untuk memenangkannya," katanya.

Sampai saat ini, menurut Panglima TNI, tidak ada satu pun purnawirawan yang sowan kepadanya. Dan memang, ditandaskan Panglima TNI, dirinya pun tidak mengharapkan hal itu terjadi.

Sebab, diingatkan kembali oleh Panglima TNI, institusi militer tersebut sudah memiliki komitmen untuk bersikap netral dan sikap tersebut sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Yang itu berarti, sambung dia, TNI tidak akan memberikan dukungan atau juga tidak melakukan pemboikotan terhadap partai ataupun calon presiden dan cawapres mana pun.

"Posisi TNI hanya mengawal agar proses pemilu berjalan aman, lancar, jujur, sukses, dan adil. Diharapkan dengan begitu, pemenang pemilu mana pun betul-betul kredibel dan memiliki legitimasi. Sebab kalau TNI memberikan dukungan dan yang diberi dukungan itu menang, legitimasi partai atau pasangan capres/cawapres itu hilang dan legitimasinya menjadi tidak ada," katanya.

Jika TNI memihak pada salah satu kontestan pemilu, Panglima mengatakan, kerugian bukan saja ada di pihak kontestan. Tapi, sambung dia, juga di pihak TNI dan tercederanya proses demokrasi yang tengah berjalan. "Karena sebagai pasukan pengaman, TNI yang memihak akan kehilangan juga kredibilitasnya. Karena sudah menjadi bagian dari yang bermain di dalam politik," katanya.

Penerapan netralitas TNI tersebut, menurut Panglima TNI, juga tidak bisa dilepaskan dari institusi dan individu. Yang mana, sambung dia, netralitas tersebut merupakan bagian dari proses reformasi internal.

"Di mana, TNI sudah mengatakan untuk tidak lagi berada di ajang politik praktis. Sehubungan dengan itu, TNI juga sudah mengeluarkan buku petunjuk untuk setiap militer aktif agar dipedomani dan dilaksanakan."

Pasalnya, menurut Panglima TNI, untuk tiap pelanggaran terhadap aturan yang disebutkan dalam buku tersebut oleh anggota TNI, institusi akan mengambil tindakan berupa sanksi keras. Palanggaran itu sendiri, tambah Panglima, termasuk dalam pelanggaran disiplin.

Ihwal kabar adanya militer TNI yang tidak netral, Panglima TNI meminta agar diberikan bukti dan fakta yang akurat akan adanya tindakan itu.

Hal itu, sambung dia, akan digunakan sebagai dasar penindakan yang akan dilakukan oleh institusi.

"Kalau ada, itu adalah sebuah pelanggaran disiplin yang tidak bisa ditoleransi. Kami akan sangat konsisten untuk memberikan sanksi kepada mereka yang tidak ikut dalam aturan yang telah diterapkan."

Terkait dengan netralitas TNI tersebut, Panglima TNI juga memperingatkan pihak-pihak yang menyebut bahwa TNI terlibat dalam kerusuhan di daerah dalam rangka melaksanakan agenda politik. Ia meminta agar tudingan terhadap TNI segera dicabut.

Tidak ada komentar: