Rabu, 28 November 2007

Pemerintah Siapkan RUU TNI Selaras Semangat Reformasi

Pemerintah tetap berhati-hati dalam mempersiapkan RUU TNI, sehingga selaras dengan UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan semangat reformasi.

Menhan Matori Abdul Djalil mengatakan hal itu kepada wartawan di Jakarta, kemarin, usai menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Polkam. Ia mengomentari Pasal 19 ayat (1) dan (2) draf RUU TNI.

"RUU TNI lebih merupakan turunan dari UU Pertahanan Negara. Karena itu, kita akan mengecek soal penggodokannya dan membicarakan masukan dari TNI apakah sudah benar-benar cocok dengan semangat UU Pertahanan, cocok dengan semangat reformasi atau tidak," kata Matori.

Pasal 19 ayat (1) draf RUU TNI menyabutkan, 'Dalam keadaan mendesak, di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa terancam, Panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar'.

Sedangkan pada ayat (2) pasal itu menegaskan, 'Penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada presiden paling lama dalam waktu 1 x 24 jam'.

Sementara itu dalam Pasal 12 UU Pertahanan Negara disebutkan bahwa untuk mengerahkan pasukan, Panglima TNI harus mendapatkan persetujuan dari Presiden dan DPR terlebih dahulu.

Menurut Matori, saat ini Pasal 19 draf RUU TNI baru menjadi masukan dan konsep dari TNI. Oleh karena itulah, tambahnya, jika Panglima TNI mengatakan draf tersebut sudah final, artinya itu keputusan final dari Mabes TNI. "Sedangkan pemerintah akan melakukan penggodokan terlebih dahulu," tegasnya.

Ia menjelaskan, proses penyusunan UU bukan hanya menjadi hak pemerintah, melainkan juga DPR. Bahkan dalam proses pembuatan UU, kata dia, pemerintah sekadar mempersiapkan. "Oleh karena itu, untuk RUU TNI pun proses pembahasannya masih sangat terbuka dari adanya berbagai masukan dan kritik dari masyarakat," katanya.

Ditanya tentang sikap Departemen Pertahanan (Dephan) terhadap draf RUU TNI, Matori menolak untuk berkomentar lebih rinci. Pasalnya, menurut dia, draf itu masih dalam pembahasan di Dephan. "Sekali lagi, itu draf dari TNI dan Dephan menerima masukan dari mana pun juga. Kalau sudah selesai, baru nanti saya bisa bicara, ada atau tidaknya pasal tersebut," tuturnya.

Tekad Mabes TNI untuk memasukkan Pasal 19 dalam draf RUU TNI tidak berubah. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan keberadaan pasal dengan substansi serupa Pasal 19 draf RUU itu merupakan tuntutan kebutuhan TNI di lapangan untuk mengatasi berbagai keadaan yang mendesak.

"TNI memerlukan suatu payung agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal, tanpa harus dianggap melanggar konstitusi," kata Endriartono yang ditemui usai Rakor Polkam.

Ia membantah pasal itu sebagai legalitas melakukan kudeta. "Saya bukan orang yang pintar untuk merekayasa sesuatu untuk kepentingan yang bukan berkaitan dengan profesi, tugas, dan tanggung jawab saya sebagai Panglima TNI. Apalagi, mungkin jabatan saya sebagai panglima juga tinggal satu, dua, tiga, empat, atau lima bulan lagi. Jadi, ketika UU itu telah jadi, saya mungkin tidak menjabat lagi sebagai panglima," ujarnya.

Seiring pengajuan Pasal 19 tersebut, Panglima TNI mengatakan pihak TNI telah membatasi diri agar tidak kemudian melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap pasal itu. Yakni, sambungnya, memasukkan pasal 12 dalam draf RUU TNI yang mengatur tentang pencopotan Panglima TNI oleh presiden tanpa harus menunggu persetujuan DPR, jika terbukti dalam melaksanakan kewenangannya melakukan penyimpangan terhadap tugas dan tanggung jawab.

KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu juga menegaskan sejak kelahirannya hingga sekarang, TNI tidak mengenal tradisi kudeta dan tidak pernah terpikir untuk melakukan hal tersebut. "TNI tidak berniat untuk menyalahgunakan keberadaan Pasal 19 ayat (1) RUU TNI yang kini masih digodok di Departemen Pertahanan," katanya.

Tidak ada komentar: